Minggu, 10 Agustus 2014

The second short story by : NIDYA JUWITA ROZA


“MISSING YOU IS KILLING ME”
Saat kembali ke tempat ini, tempat dimana nyawa kakakku Barra berhembus pergi meninggalkanku selamanya.  Dia pergi terenggut oleh penyakit meningitis yang dideritanya dua tahun belakangan. Kepergiannya membuat separuh jiwaku juga melayang. Ditinggalkan untuk selama-lamanyan membuatku tak pernah sadar dari mimpi buruk yang tak pernah usai. Kenyataan terus menamparku dari berbagai arah, tapi tak lantas membuatku terjaga dan kembali menata hidup dengan kenyataan yang selalu membuatku terhuyung. Kenyataan dimana Barra tak pernah bisa kembali dan berputar arah menyempurnakan separuh jiwaku yang pergi bersamanya. Dan kenyataan bahwa kini dunia telah menggenggamnya.
            Aku tidak pernah membayangkan akan kembali ke tempat ini setelah dua bulan kehilangan Barra. Tempat ini bagaikan miniatur neraka bagiku. Di tempat inilah Barra menghembuskan napas terakhirnya dan tak pelak membuatku sangat terpuruk. Semenjak kepergian Barra, aku tak pernah kembali tersadar, jiwaku tak pernah lagi utuh, dan senyuman yang selalu menghiasi hari-hariku untuk terus menyemangatkan Barra agar bertahan lebih lama juga tak pernah singgah lagi. Rasanya tidak berguna semua yang aku perbuat tanpa kehadiran Barra. Hanya dia, dan cuma dia yang menjadi salah satu alasanku untuk tetap tersenyum. Tapi kini, kakakku yang sangat aku cintai itu telah menyatu dengan bumi. Raganya telah tertelan dalam gelap dan dinginnya dunia. Sosoknya tak lagi menyempurnakan hari-hariku. Aku tahu hanya dia yang menyayangiku bahkan lebih dari orangtuaku sendiri. Hanya Barra yang selalu ada, selalu terjaga saat aku sakit , selalu menunggu kepulanganku, dan yang selalu menangis saat adiknya ini sedang dalam keadaan yang tidak baik-baik saja.
            Orangtua kami tak pernah ada di rumah, kesibukan mereka membuat keduanya tidak pernah memiliki waktu untuk kami berdua. Dan hanya Barra yang selalu ada untukku, bahkan aku tidak pernah menyadari kehadiran orangtua diantara kami. Tapi ketika penyakit itu menyerang Barra, kejadian itu sangat memukulku. Barra tak pernah lagi se-protektif dulu terhadapku. Alhasil, semenjak Barra sakit aku yang menggantikan peran mama untuk mengurus Barra. Dengan begitu, aku merasa telah membalas semua kebaikan Barra. Lewat penyakitnya, aku bisa berterima kasih karena Tuhan mengizinkanku untuk membalas apa yang telah diperbuat Barra untukku. Dan sampai pada akhirnya, Barra menemukan akhir dari derita panjangnya. Tuhan menghentikan rasa sakit yang selama ini diderita Barra dengan cara merenggutnya dari kehidupanku untuk selama-lamanya, disini, di tempat ini.
            “Kenapa? Kamu masih teringat sama kakakmu?” tanya mama saat turun dari mobil.
              “Aku ikhlas atas kepergian Barra.” hanya itu yang bisa aku ucapkan untuk menguatkan diri. Menahan tangis agar tidakpecah dihadapan mama.
              “Ya sudah, sekarang kita masuk ke dalam.” kata mama sambil mengelus-ngelus puncak kepalaku, ”kasihan nenek sudah lama nunggu”. Kami melangkah menuju tempat yang di dalamnya berisi nyawa yang masih misteri keberadaannya, HCU. Di sini, nenekku terbaring lemah dalam komanya hampir lima hari. Penyakit kanker yang dideritanya hampir puluhan tahun telah berdampak sangat buruk baginya. Apa mungkin ini penghujung dari rasa sakit yang dideritanya? Dan apa mungkin sebentar lagi ia akan pergi menyusul Barra? Lantas, kenapa dalam jangka waktu yang cukup singkap aku harus kembali merasakan saat hembusan napas terakhir dari orang-orang yang aku sayang?
Kini kejadian dua bulan lalu kembali terlintas di benakku. Saat dimana aku selalu bolak balik ke rumah sakit ini untuk mengecek keadaan Barra. Satu hal yang tidak pernah aku lupakan sebelum Barra benar-benar pergi meninggalkan dunia ini.
            “Kibby, kalau nanti Kak Barra nggak ada lagi di samping kamu, kamu harus ikhlas dan tegar, ya. Satu hal yang harus kamu tau, Kak Barra sayang sama kamu melebihi apapun.” Pesan terakhir yang diucapkan Barra sebelum detik-detik kepergiannya. Aku diam dalam tangis yang menjadi-jadi. Aku tak sanggup menghentikannya sampai akhirnya tangis itu benar-benar pecah saat Barra mengucapkan kalimat selamat tinggal yang belum sempurna ia ucapkan. Aku tak sanggup menatap kepergiannya. Saat itu aku benar-benar mengharapkan keajaiban agar Barra kembali dan bisa bertahan lebih lama lagi. Namun sayang, aku bukan Tuhan yang bisa mengatur dunia se-sukaku, memanjangkan umur Barra selama yang aku mau, membuatnya tetap hidup dan kembali seperti sedia kala agar aku tak pernah kehilangan separuh jiwaku.
            Aku ingat Barra pernah menitipkan sepucuk surat untukku. Sebelum menjalani koma, Barra sempat memberitahuku tempat surat itu ia simpan. Tapi sampai detik ini, setelah dua bulan kepergiannya, aku belum sempat mengambilnya dari tempat yang diberitahu Barra. Saat sampai di rumah, dengan langkah berat aku melangkah menuju kamar Barra. Dihadapanku terdapat sebuah pintu yang membatasi ruang tamu dengan kamar Barra. Lama kutatap pintu dihadapanku, pintu yang sekian lama tak pernah lagi ku buka semenjak Barra tak lagi menghuninya.
            Klek...
            Jantungku berdebar sangat kencang saat menatap ruangan dihadapanku. Ruangan yang tertata rapi dan masih membekas wangi parfum kakakku itu. Sebisa mungkin aku menahan tangis agar tidak tumpah membasahi pipi, karena itulah pesan Barra. Tegar dan ikhlas. Aku tidak ingin mengecewakannya.
            Aku buka laci lemari kecil yang berada di sebelah tempat tidur Barra dengan aksi lambat. Lama kelamaan dengan sempurna laci itu mempertontonkan isinya. Hanya ada selembar kertas di dalamnya. Selembar kertas yang berisi pesan sekaligus suara hati terakhir kakaku. Kali ini aku benar-benar telah mengecewakan Barra. Surat ini membuatku melanggar amanat Barra. Aku tak sanggup membendung tangis, dan butiran bening itu mengalir deras tanpa bisa ku hentikan.
            Hai Kibby!!!
          Adikku yang paling nakal dan manjaJ Mungkin saat kamu baca surat ini, Kak Barra nggak tau ada dimana. Mungkin Kak Barra ada di tempat yang selama ini Kak Barra impikan. Surga, hehehe.
Kibby sayang, terima kasih atas semua perhatian dan kepedulian kamu saat Kak Barra sakit. Maaf ngerepotin, ya. Kak Barra nggak bermaksud bikin kamu sedih, Kak Barra juga nggak pengen liat kamu nangis. Tapi semua ini bukan kemauan Kakak.
Jaga diri baik-baik ya adikku sayang. Kakak sayang kamu JJ({})
             

TPU Tanah Kusir, Jakarta...
            Saat turun dari mobil, aku segera berlari menuju makam Barra dengan sejumlah bunga di tanganku. Aku tidak sabar untuk meluapkan sesak di dadaku selama tidak bertemu dengannya. Aku melangkah pasti menuju makam Barra yang terletak tidak jauh dari area parkir. Sesampainya aku dihadapan makam, buket bunga yang aku bawa langsung aku taruh di atasnya. Sebisanya aku menahan tangis dan berusaha tegar seperti pesan Barra.
            “Pagi, Kak Barra. Apa kabar? Senang bisa ketemu sama Kakak lagi. Aku kangeeeennn banget sama Kak Barra. Oh ya, aku udah baca surat dari kakak yang waktu itu. Sori ya Kak, aku kelepasan. Soalnya waktu aku baca surat itu aku sempat nangis. Tapi Kakak tenang aja, aku janji nggak bakalan nangis lagi seperti pesan Kakak waktu itu.” Aku melanjutkan celotehku di depan makam Barra. Berharap Barra bisa mendengar curahan hatiku dan mengerti betapa rindunya aku dengannya. Perlahan sesak di dadaku merenggang seiring berjalannya waktu. Seperti pesan Barra, aku harus tegar dan ikhlas atas kepergiannya. Berlarut dalam kesedihan tak akan membuat keadaan kembali seperti sedia kala. Kini Barra telah damai dengan penantian panjangnya, dan perlahan aku mulai tersadar bahwa kini kenyataan telah merenggut Barra dan membawanya pergi bersama kebahagiaan yang abadi. Only see you when i close my eyes...