The second short story by :
NIDYA JUWITA ROZA
“MISSING YOU
IS KILLING ME”
Saat kembali ke tempat ini, tempat
dimana nyawa kakakku Barra berhembus pergi meninggalkanku selamanya. Dia pergi terenggut oleh penyakit meningitis
yang dideritanya dua tahun belakangan. Kepergiannya membuat separuh jiwaku juga
melayang. Ditinggalkan untuk selama-lamanyan membuatku tak pernah sadar dari
mimpi buruk yang tak pernah usai. Kenyataan terus menamparku dari berbagai
arah, tapi tak lantas membuatku terjaga dan kembali menata hidup dengan
kenyataan yang selalu membuatku terhuyung. Kenyataan dimana Barra tak pernah
bisa kembali dan berputar arah menyempurnakan separuh jiwaku yang pergi
bersamanya. Dan kenyataan bahwa kini dunia telah menggenggamnya.
Aku tidak
pernah membayangkan akan kembali ke tempat ini setelah dua bulan kehilangan
Barra. Tempat ini bagaikan miniatur neraka bagiku. Di tempat inilah Barra
menghembuskan napas terakhirnya dan tak pelak membuatku sangat terpuruk.
Semenjak kepergian Barra, aku tak pernah kembali tersadar, jiwaku tak pernah
lagi utuh, dan senyuman yang selalu menghiasi hari-hariku untuk terus
menyemangatkan Barra agar bertahan lebih lama juga tak pernah singgah lagi.
Rasanya tidak berguna semua yang aku perbuat tanpa kehadiran Barra. Hanya dia,
dan cuma dia yang menjadi salah satu alasanku untuk tetap tersenyum. Tapi kini,
kakakku yang sangat aku cintai itu telah menyatu dengan bumi. Raganya telah
tertelan dalam gelap dan dinginnya dunia. Sosoknya tak lagi menyempurnakan
hari-hariku. Aku tahu hanya dia yang menyayangiku bahkan lebih dari orangtuaku
sendiri. Hanya Barra yang selalu ada, selalu terjaga saat aku sakit , selalu
menunggu kepulanganku, dan yang selalu menangis saat adiknya ini sedang dalam
keadaan yang tidak baik-baik saja.
Orangtua
kami tak pernah ada di rumah, kesibukan mereka membuat keduanya tidak pernah
memiliki waktu untuk kami berdua. Dan hanya Barra yang selalu ada untukku,
bahkan aku tidak pernah menyadari kehadiran orangtua diantara kami. Tapi ketika
penyakit itu menyerang Barra, kejadian itu sangat memukulku. Barra tak pernah
lagi se-protektif dulu terhadapku. Alhasil, semenjak Barra sakit aku yang
menggantikan peran mama untuk mengurus Barra. Dengan begitu, aku merasa telah
membalas semua kebaikan Barra. Lewat penyakitnya, aku bisa berterima kasih
karena Tuhan mengizinkanku untuk membalas apa yang telah diperbuat Barra
untukku. Dan sampai pada akhirnya, Barra menemukan akhir dari derita
panjangnya. Tuhan menghentikan rasa sakit yang selama ini diderita Barra dengan
cara merenggutnya dari kehidupanku untuk selama-lamanya, disini, di tempat ini.
“Kenapa? Kamu
masih teringat sama kakakmu?” tanya mama saat turun dari mobil.
“Aku
ikhlas atas kepergian Barra.” hanya itu yang bisa aku ucapkan untuk menguatkan
diri. Menahan tangis agar tidakpecah dihadapan mama.
“Ya
sudah, sekarang kita masuk ke dalam.” kata mama sambil mengelus-ngelus puncak
kepalaku, ”kasihan nenek sudah lama nunggu”. Kami melangkah menuju tempat yang
di dalamnya berisi nyawa yang masih misteri keberadaannya, HCU. Di sini,
nenekku terbaring lemah dalam komanya hampir lima hari. Penyakit kanker yang
dideritanya hampir puluhan tahun telah berdampak sangat buruk baginya. Apa
mungkin ini penghujung dari rasa sakit yang dideritanya? Dan apa mungkin
sebentar lagi ia akan pergi menyusul Barra? Lantas, kenapa dalam jangka waktu
yang cukup singkap aku harus kembali merasakan saat hembusan napas terakhir
dari orang-orang yang aku sayang?
Kini kejadian dua bulan lalu kembali terlintas di benakku. Saat
dimana aku selalu bolak balik ke rumah sakit ini untuk mengecek keadaan Barra.
Satu hal yang tidak pernah aku lupakan sebelum Barra benar-benar pergi
meninggalkan dunia ini.
“Kibby,
kalau nanti Kak Barra nggak ada lagi di samping kamu, kamu harus ikhlas dan
tegar, ya. Satu hal yang harus kamu tau, Kak Barra sayang sama kamu melebihi
apapun.” Pesan terakhir yang diucapkan Barra sebelum detik-detik kepergiannya.
Aku diam dalam tangis yang menjadi-jadi. Aku tak sanggup menghentikannya sampai
akhirnya tangis itu benar-benar pecah saat Barra mengucapkan kalimat selamat
tinggal yang belum sempurna ia ucapkan. Aku tak sanggup menatap kepergiannya.
Saat itu aku benar-benar mengharapkan keajaiban agar Barra kembali dan bisa
bertahan lebih lama lagi. Namun sayang, aku bukan Tuhan yang bisa mengatur
dunia se-sukaku, memanjangkan umur Barra selama yang aku mau, membuatnya tetap
hidup dan kembali seperti sedia kala agar aku tak pernah kehilangan separuh
jiwaku.
Aku ingat
Barra pernah menitipkan sepucuk surat untukku. Sebelum menjalani koma, Barra
sempat memberitahuku tempat surat itu ia simpan. Tapi sampai detik ini, setelah
dua bulan kepergiannya, aku belum sempat mengambilnya dari tempat yang
diberitahu Barra. Saat sampai di rumah, dengan langkah berat aku melangkah
menuju kamar Barra. Dihadapanku terdapat sebuah pintu yang membatasi ruang tamu
dengan kamar Barra. Lama kutatap pintu dihadapanku, pintu yang sekian lama tak
pernah lagi ku buka semenjak Barra tak lagi menghuninya.
Klek...
Jantungku
berdebar sangat kencang saat menatap ruangan dihadapanku. Ruangan yang tertata
rapi dan masih membekas wangi parfum kakakku itu. Sebisa mungkin aku menahan
tangis agar tidak tumpah membasahi pipi, karena itulah pesan Barra. Tegar dan
ikhlas. Aku tidak ingin mengecewakannya.
Aku buka
laci lemari kecil yang berada di sebelah tempat tidur Barra dengan aksi lambat.
Lama kelamaan dengan sempurna laci itu mempertontonkan isinya. Hanya ada
selembar kertas di dalamnya. Selembar kertas yang berisi pesan sekaligus suara
hati terakhir kakaku. Kali ini aku benar-benar telah mengecewakan Barra. Surat
ini membuatku melanggar amanat Barra. Aku tak sanggup membendung tangis, dan
butiran bening itu mengalir deras tanpa bisa ku hentikan.
Hai Kibby!!!
Adikku
yang paling nakal dan manjaJ Mungkin saat kamu baca surat ini, Kak
Barra nggak tau ada dimana. Mungkin Kak Barra ada di tempat yang selama ini Kak
Barra impikan. Surga, hehehe.
Kibby sayang, terima kasih atas semua perhatian
dan kepedulian kamu saat Kak Barra sakit. Maaf ngerepotin, ya. Kak Barra nggak
bermaksud bikin kamu sedih, Kak Barra juga nggak pengen liat kamu nangis. Tapi
semua ini bukan kemauan Kakak.
Jaga diri baik-baik ya adikku sayang. Kakak sayang
kamu JJ({})
TPU Tanah Kusir, Jakarta...
Saat turun
dari mobil, aku segera berlari menuju makam Barra dengan sejumlah bunga di
tanganku. Aku tidak sabar untuk meluapkan sesak di dadaku selama tidak bertemu
dengannya. Aku melangkah pasti menuju makam Barra yang terletak tidak jauh dari
area parkir. Sesampainya aku dihadapan makam, buket bunga yang aku bawa
langsung aku taruh di atasnya. Sebisanya aku menahan tangis dan berusaha tegar
seperti pesan Barra.
“Pagi, Kak
Barra. Apa kabar? Senang bisa ketemu sama Kakak lagi. Aku kangeeeennn banget
sama Kak Barra. Oh ya, aku udah baca surat dari kakak yang waktu itu. Sori ya
Kak, aku kelepasan. Soalnya waktu aku baca surat itu aku sempat nangis. Tapi
Kakak tenang aja, aku janji nggak bakalan nangis lagi seperti pesan Kakak waktu
itu.” Aku melanjutkan celotehku di depan makam Barra. Berharap Barra bisa
mendengar curahan hatiku dan mengerti betapa rindunya aku dengannya. Perlahan
sesak di dadaku merenggang seiring berjalannya waktu. Seperti pesan Barra, aku
harus tegar dan ikhlas atas kepergiannya. Berlarut dalam kesedihan tak akan
membuat keadaan kembali seperti sedia kala. Kini Barra telah damai dengan
penantian panjangnya, dan perlahan aku mulai tersadar bahwa kini kenyataan
telah merenggut Barra dan membawanya pergi bersama kebahagiaan yang abadi. Only see you when i close my eyes...